Sabtu, 10 Desember 2011

Menyesal

Penyesalan selalu datang terlambat. Mungkin kalimat ini paling sesuai untuk menggambarkan keadaanku sekarang. Gara-gara aku, Chiska tak pernah mau menemuiku lagi. Berkali-kali aku mendatanginya, tapi berpuluh-puluh kali pula ia diam. Jangankan menemui. Menjawab sapaanku pun tak dilakukannya.
****
PLAKK!! Kutampar pipinya. Dua detik nafasnya memburu sebelum akhirnya tangisnya tumpah.
“Pukul. Pukul lagi kalau itu bikin kamu puas, Dos!” teriak Chiska di sela-sela tangisnya.
Aku diam. Nafasku tak beraturan. Tanganku gemetaran. Untuk kesekian detik pikiranku kosong. Perasaan kaget bercampur rasa bersalah dan menyesal. Seakan kurang lengkap, ditambah rasa gengsi dan marah. Komplit.
Chiska masih menangis.
“S-s-siapa bajingan yang bersamamu kemarin?” terbata kutanyakan lagi padanya. Sekedar membutuhkan jawaban atas cemburuku yang sudah buta.
“Aku udah bilang, dia kakak sepupu aku. Mas Dewo, Dos”
PLAK!
“Bohong! Dia bukan Dewo. Aku tahu itu. Kamu mulai bohong, Chis!”
Pengaruh minuman laknat ternyata membuat nalarku tak berfungsi sama sekali. Sifat temperamental, cemburu dan alkohol memang kombinasi tepat untuk iblis bersarang.
****
Tok..tok..tok..
Kucoba mengetuk lagi, siapa tahu kali ini berhasil. Ini sudah hari kedua, dan aku bersikukuh untuk tetap berusaha sampai aku mendapatkan maafnya. Mungkin sulit bagi Chiska untuk memaafkanku, tapi aku tahu dia pasti punya kesempatan kedua buatku. Hubungan satu setengah tahun ini ingin kubina hingga berumahtangga. Makanya, aku ingin meminta maaf dan memperbaiki dari awal. Niat yang bagus. Tuhan pasti memudahkan.
Tok…tok…tok.
Sepi. Masih belum ada jawaban. Sudah tiga jam kutunggui, belum juga ada tanda-tanda ia muncul. Atau minimal, merespon panggilanku.
Kuketuk nisannya sekali lagi. Kali ini agak keras. “Chis, kamu masih di dalam, kan?”
*****
Based on:
@fiksimini RT @attararya MENGEJAR MAAF. Sudah berjam-jam kutunggui, tak juga ia muncul. Kuketuk nisannya, ‘Kau masih di dalam, kan?’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar