Kamis, 22 Desember 2011

Malaikat untuk Jingga

By : Nuzula Fildzah
Sore ini, langit Phuket seperti mengepulkan cercahan matahari yang mulai mengumpat dalam gemawan angkasa. Ada rona-rona sipu di sana, membuat pipi langit di pantai barat Phuket menggembilkan jingga di atas gulungan ombak yang mulai pasang.
Mungkin ini yang dinamakan ketenangan. Tidak ada suara-suara yang mendesak hatiku untuk memilih lagi. Aku menikmati apa yang ada di depan mata sekarang ini. Suasana pantai yang mulai sepi, suara deburan ombak yang mulai bersatu dengan suara hati. Dan aku suka tiap kali senja mulai merekah di atas kepala. Aku bagai dipayungi Tuhan segala berkah. Walaupun, mungkin ayah dan ibu sedang gelapan mencariku di kamar hingga lemari tidurku. Mereka tidak tahu, aku di sini. Mereka tidak tahu, aku berani melangkahkan tubuhku ke luar negeri.
Cukup melegakan bisa menapakkan kaki di pasir Patong. Tidak ada perbekalan apa-apa, hanya membawa beberapa helai pakaian dan tentunya tabunganku yang orang tua tidak pernah tahu. Sengaja aku tidak beritahukan mereka tentang kebohongan-kebohongan kecil setiap aku memberikan secarik kertas bayaran. Entah bayaran kuliah, hingga merekayasa beberapa kejadian, misalnya untuk acara amal. Mungkin hal ini, bisa dikecap uang haram, namun aku tidak perduli. Ini memang strategi dari pelarianku. Aku tidak mau menghabiskan umur bersanding dengan pria berkulit keriput dan beberapa tahun lagi renta. Tidak bisa terbayangkan, hidup tanpa cinta pertama.
Sayap_patah           : Hei Malaikat kecil. Pasti dirimu sedang melihat sayap-sayapku terbang di angkasa yang mulai menyibakkan senja. Kamu jadi lari dari rumah?
“Pesan messenger dari sayap patah?” ucapku saat melihat Yahoo Messenger yang menyala di ponselku. Tanpa berlama-lama, jemariku mulai membalas pertanyaannya.
Malaikat_kecil           : Il cielo è così bello qui [1].
Sayap_patah             : Va bene! [2] Kamu belum jawab pertanyaanku.
Malaikat_kecil           : Tenang, aku memang sudah di sini. Sesuai dengan    rencana. Tidak ingin menikah dengan lelaki renta, berharta hahaha!
Sayap_patah : Kau benar-benar gila! Bagaimana jika uang   tabunganmu itu habis? Aku tahu, kau tidak punya keahlian apa-apa kecuali berlari dari kenyataan.
Malaikat_kecil : Apa pedulimu? Pokoknya aku akan di sini, sampai mereka tidak memaksaku lagi. Titik!

888
Jakarta di hari yang sama, pukul 18:00
“Sudah kamu hubungi semua teman-teman Jingga?”
“Sudah pak, tapi mereka tidak tahu keberadaan Jingga! Aduh, anak itu bikin pusing orang tua saja.”
Kedua orang tua itu saling menatap gusar. Langkah mereka tak jengah melangkah ke sana- ke mari sambil menunggu telepon rumah bersuara. Ibu, kembali menelepon teman Jingga yang sekiranya dekat dengan anak perempuan satu-satunya itu. Tapi, memang keterlaluan sekali Jingga, pergi tanpa pesan.
“Bapak, ibu lebih baik Surya saja yang cari Jingga. Mungkin ini cara dia menolak saya.” Kataku dengan suara alto. Aku menenangkan mereka. Kedua orang tua itu pun duduk di kursi rotan yang bergoyang pelan. Dari raut wajah mereka, tampak kekalutan, khawatir akan anak semata wayangnya.
“Bapak tidak menyangka, Jingga berbuat seperti ini. Apa kurangnya kau Surya? Jingga tidak mengerti, bahwa orang tua ingin yang terbaik untuknya. Maafkan anak bapak ya.”
“Tidak apa-apa pak, saya tahu Jingga tidak akan menolak saya. Berikan saja waktu untuknya mendewasakan diri pak. Saya pernah muda, saya pernah labil sepertinya. Dan tenang saja, saya akan berusaha mencarinya.”
888
Thailand, Phuket pukul 18:30
Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit. Kakiku sudah beranjak dari pasir putih yang mempesona. Puas rasanya telah menikmati matahari turun dari peraduan untuk bergantian dengan rembulan. Indah, menawan, dan amat mempesona saat warna merah berkilau memenuhi angkasa. Namun, terasa ada yang kurang. Aku sendiri menikmati keindahan alam tadi, semestinya seorang pria menggenggam sela-sela jemariku dan meletakkan kepalaku di dada bidangnya sambil berbisik, aku mencintaimu selembut senja saat menyala, lalu mengecup keningku lekat, hingga matahari menghilang di atas garis horizon laut. Sayang sekali, semua hanya khayal belaka. Aku ya tetap saja aku, wanita berumur 24 tahun dengan status tanpa pria.
Malam kini menyapaku dalam kenyataan. Sendirian di negeri orang. Ini bukan di Bali, Lombok, atau Papua. Tapi ini Thailand. Punya teman sedarah saja tidak di sini. Baru aku sadar, sekarang aku sedang menjadi perempuan sebatang kara dengan modal uang tak seberapa hanya modal tabungan nekat saja yang jumlahnya tak terhingga.
Tiba-tiba, aku rindu sayap patah. Kalau saja aku punya tabungan lebih banyak lagi, mungkin aku akan menyusulnya ke Itali. Yah, cuma dia teman mayaku yang sepertinya selalu mengkhawatirkan aku.
888
Malaikat_kecil : BUZZ!
Sayap_patah : Ada apa anak bandel?
Malaikat_kecil : Seenaknya bilang aku bandel. Aku hanya mengapresiasikan isi hati. Penolakan akan sebuah egois, tuntutan keinginan orang tua. Aku hanya ingin berlaku adil untuk diriku sendiri.
Sayap_patah : Sesuka hatimulah. Kalau kau diculik di sana, lalu di lucuti tubuhmu, menangislah kau.
Malaikat_kecil : Tega!
Sayap_patah : Tidak, aku hanya ingin menyadarkanmu. Lebih baik kamu pulang. Apa kamu mau pulang jika uangmu hampir habis?
Malaikat_kecil : Mungkin. Sedang apa kamu? Aku di kamar hotel, sendirian. Belum makan.
Sayap_patah : Kebodohanmu kau buat lagi.
Malaikat_kecil : Bodoh? Kasar sekali!
Sayap_patah : Apa namanya kalau tidak bodoh? Kabur dari rumah lalu sekarang tidak makan. Kau wanita paling bodoh yang aku kenal.
Malaikat_kecil : Aku tidak peduli. Satu lagi sebenarnya kebodohanku.
Sayap_patah : Apa?
Malaikat_kecil : Merindukanmu, di saat genting dan perutku lapar. Aku di penginapan dekat Patong Beach.
Sayap_patah : Kau benar-benar perempuan aneh! Aku ini teman mayamu. Lebih baik kau merindukan yang nyata.
Malaikat_kecil : Buatku, kau tak maya. Kau adalah nyata. Pria paling nyata yang melekat di lubuk jiwa.
Dan malam terus membawaku dan dirinya mengalir, seperti air menuju danau berwarna pelangi. Indah, penuh romansa, walaupun semua tidak menjamin akan menjadi nyata seperti senja. Penuh pesona.
888
Hari itu, tepat pada tanggal berkode merah di seluruh Indonesia. Aku  duduk di bawah beringin tua, berlindung dari terik matahari. Aku bersandar pada batangnya yang besar dan masih kokoh. Membaca kumpulan sajak Kahlil Gibran yang sarat akan makna cinta. Sebenarnya aku di sana tidak untuk menikmati sajak saja, tapi menunggu kehadiran dia yang berjanji menemui diriku di sini.
Kedua mataku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kananku. Pukul dua belas siang, lewat dua belas menit. Dan dari kejauhan, sosok itu datang. Wajah oval, dengan hidung lancip, dan bibir tebal, setebal alisnya yang mempertegas garis wajah tampannya, satu hal, ia tak pernah membuatku bosan meneguk waktu yang kadang tak pasti.
“Sudah lama ya, maaf aku telat.” Sapanya kemudian langsung duduk di samping kananku. Aku mantap kedua bola mata cokelatnya itu. Jantung ini melakukan getaran yang tak tahu berapa detik tiap degupnya.
“Jingga, pecayakah kau pada cinta?” ia bertanya seolah ia tak tahu jawabannya. Aku mengangguk tanpa melemparkan tatapanku pada keramaian di sekelilingku. Ia tersenyum. Tangannya mulai mengelus rambut hitamku yang panjang sebahu.
“Kamu percaya kan, bahwa seseorang pasti akan pulang ke tempat ia berasal?”
“Iya, aku percaya. Memang kamu mau ke mana?”
“Jauh. Tapi aku tak tahu, kapan aku akan kembali. Jika ada seseorang yang membuatmu nyaman, mungkin ia malaikat penggantiku untuk dirimu.” Ungkapnya, sebelum satu bulan jasadnya kutemui di rumah duka, dengan puluhan bunga-bunga belasungkawa. Aku diam, kaku, membisu tak ingin air mata menghalau kepergian ia ke surga.
Sebulan ia pergi, bertahun-tahun aku seperti berjalan tanpa memiliki kaki. Layaknya berfisik, namun mengambang dalam duka, tak percaya cinta pertamaku pergi di umurnya yang masih muda. Belum genap kepala dua.
Aku sempat ingin menghujat Tuhanku, namun nurani dan imanku masih menjaga diri ini dari perbuatan nista. Mata menjadi saksi, bahwa aku setia, bahwa aku tidak melirik pria mana pun, walau ia ikhlas hatiku untuk seseorang yang baru. Namun, aku masih tertutup, sampai usiaku ke-23 tahun. Di usia itu aku mulai menyuarakan kesepian di sebuah jejaring sosial.
Malaikat_kecil Terlepaslah rindu dari peraduan tunggu. Mencari patahan kalbu yang beradu. Angin arahkan aku. Temui kamu dalam semu.

Malaikat_kecil Andai aku rembulan. Menatapmu dari kejauhan malam. Bisikkan indahnya sinar bintang. Hingga dirimu tahu. Kamu di hati

Beberapa menit berlalu, seseorang datang dan membalas galauku. Dengan akun yang menarik perhatian, sayap_patah.

Sayap_patah Hapuskan air mata dari langit dirimu. Jangan pasung kalbu dalam debu-debu penantian rindu. RT @Malaikat_kecil Terlepaslah rindu

Malaikat_kecil Bukankah rindu tak dapat dipagarkan? Kau tak tahu ada pilu di sini. Dan nyata tak dapat kubutakan lagi. @Sayap_patah

Sayap_patah Itu hanya ungkapan dari egomu. Masa lalu yang tak kau kubur jauh. Anggap saja kegagalan itu debu. Dan kau hirup bahagia barumu. @Malaikat_kecil

Sejak saat itulah, aku mulai membuka diri. Kami bertukaran akun Yahoo Messenger. Mulai berkenalan, walau tetap tidak memberitahu keaslian identitas masing-masing. Sejujurnya, aku pernah memaksa dia membuka segala kemayaan ini, namun Sayap Patah tetap enggan, dan selalu berkata belum waktunya.
Ia maya, namun bagiku ia satu-satunya pria yang bisa menebak segala risau dan keinginanku. Sayap patah, pria misterius dan selalu mau mendengarkan curahan hati ini. Orang yang memadamkan bara dalam kecewaku. Dan aku tetap berharap, ia adalah malaikat jelamaan cinta pertamaku.
888
From  : malaikatkecil@gmail.com
To       : sayapsayappatah@gmail.com
Date   : 1 Februari
Subj    : Sepertinya aku akan pulang
Dear sayap patah,
Beberapa malam ini engkau ke mana? Linimasamu kosong dan akun YM mu tidak aktif. Aku sepi, kau tahu temanku tidak ada yang peduli, kecuali kamu. Kamu ke mana sayap patah?
Hemmp, malam ini adalah malam ke lima aku di Patong. Rasanya, aku sudah bosan melihat senja di Patong. Hambar, tidak ada semburat kenyamanan lagi di hati. Mungkin aku harus pulang dan menyerahkan diri pada lelaki tua yang akan menjadi suami asas keterpaksaanku karena uang di tabungan sudah menipis. Mungkin, jika kupaksakan tetap di sini, aku bisa jadi gembel jalanan Thailand.
Kuharap kamu membaca e-mail ini. Membalasnya dan kuharap kita bisa bertatap muka sebelum aku dipersunting lelaki yang bukan pilihanku itu.
Salam,
Malaikat Kecil
Satu jam, dua jam, tiga jam, berjam-jam. Ia belum juga membalas e-mail dariku. Mungkin sedang sibuk dengan tugas kantornya. Atau, ia telah terpikat dengan wanita nyata di kota itu? Yah, aku hanyalah wanita bodoh, seperti ucapannya pada malam yang lalu. Wanita yang hanya berlari dari kenyataan.
“Tuhan, aku ingin pulang. Aku ingin bertemu dengan Ayah dan Ibu. Namun satu, aku tidak ingin kau ikatkan tali jodohku dengan orang yang tak mencintaiku, tak kucintai. Meski semua masih misteri. Kumohon Tuhan, kirimkan malaikat pelindungku, kirimkan pria yang mencintaiku.” Seru aku yang berlutut di atas sejadah berbalut kain putih dengan menadahkan kedua tangan. Dengan pasrah, besok pagi aku siap kembali dan menerima apa yang akan terjadi.
Sejam kemudian, gambar kotak surat itu menyala-nyala, tanda ada email baru yang masuk. Sebuah email dari Sayap Patah, aku membacanya perlahan, dan tak sadar pipiku mulai basah.
From  : sayapsayappatah@gmail.com
To       : malaikatkecil@gmail.com
Date   : 1 Februari
Subj    : tunggu aku di Jakarta
Sepasang hati yang bersatu di tengah kesunyian
Tidak akan dipisahkan oleh kejayaan dan kebahagiaan
Cinta yang dibersihkan oleh air mata
Akan menyisakan kemurnian dan
Keindahan yang abadi

Kahlil Gibran
NB:     Jingga, kau pun tak maya bagiku. Kau paling nyata di antara wanita nyata di duniaku. Aku takkan membiarkanmu sendiri. Karena dirimu, pelengkap hidupku.
Ti amo[3]
Sayap Patah
Tapi, ada keganjilan di sini. Tunggu aku di Jakarta? Dia tahu alamatku saja tidak, ia pun tidak meninggalkan pesan akan bertemu di mana denganku. Mengapa pria sulit dimengerti? Apa ia hanya membuatku tenang saja dengan peryataan cintanya ini? ucapku gusar di dalam hati, sambil mengusap air mata yang mengalir deras sejak tadi. Dan aku pun pasrah, pukul sebelas siang esok hari, aku akan tiba di Jakarta, di rumah orang tuaku.
888
Hatiku seperti masih tertinggal di sana. Bukan di Patong, melainkan pada secarik kertas digital berisi ungkapan hati namun abstraksi. Hujan menyambut kehadiranku saat Taxi memberhentikan ke empat rodanya di depan rumah. Dua pasang mata sayu penuh getir, menyambut kedatanganku.
“Nak, ibu khawatir padamu. Kamu ke mana saja?” ibu mulai merangkul bahuku yang basah terkena derasnya hujan. Ayah memandang wajahku kaku, seperti mencoba menerka apa yang aku lakukan sebelum menjejaki kaki kembali.
“Surya menelepon kamu?” baru saja duduk di sofa merah kesayanganku, tempat aku biasa tertidur setiap membaca buku. Ayah langsung melontarkan pertanyaan yang jelas aku tidak mengerti.
“Surya? Siapa dia?”
“Dia yang akan menjadi pendampingmu.” Ayah memperjelas semua. Aku menelan ludah, terkejut. Jadi nama pria tua itu Surya. Ibu sibuk mengeringkan rambut panjangku yang basah.
“Iya nak, nama calonmu itu Surya. Ia anaknya baik. Yang pernah berbicara denganmu, beberapa hari sebelum kamu melarikan diri.” Ibu menambahi. Aku terdiam. Jelas sudah, nama lelaki bersuara alto itu adalah Surya. Ia mengaku berkepala lima. Walau dari suaranya, tidak terlalu tua. Namun, aku percaya pengakuannya itu. Karena itulah aku kabur dari rumah, aku ngeri melihat keriput-keriput di dahi dan tangan lelaki yang katanya akan menyuntingku sebagai isteri.
“Tidak ada telepon dari Surya.”
“Jelas saja, kamu mematikan semua nomer teleponmu. Sudahlah, ayah dan ibu sudah menentukan tanggal baik. Sepuluh hari ke depan, adalah tanggal baik untukmu.”
Oh Tuhan, tolong datangkan pria maya itu padaku. Tolong gagalkan semua rencana ini. Aku tidak ingin menikah dengan lelaki yang tidak mempunyai hak memiliki aku, tubuhku, dan hatiku.
888
Surya, lelaki yang ingin mempersuntingku. Namun, hingga hari ini, hari terakhir aku bisa menolak apa yang akan terjadi di depan wajahnya. Ia tidak  melakukan pendekatan apapun denganku. Menunjukkan batang hidungnya pun tidak. Dan ia seperti angin, hanya kabarnya saja yang kudengar dari bibir ayah.
Aku ingin cepat mengakhiri semua ini. Rasanya ada ombak bergulung di dalam dada tanpa henti, setiap hari. Semua karena dia, pria maya yang tak kunjung membalas e-mail, YM, maupun DM dariku. Lalu, harus kupercaya siapa? Hati ini atau kenyataan yang kulihat sekarang? Hatiku berkata, ia akan datang membawakan segenggam kepercayaan tuk temani aku hingga masaku berakhir di dunia. Namun, kenyataan mulai menjadi setan, membisikkan bahwa pria maya itu hanya membual, mengarang-ngarang kata agar aku pulang dengan hati tenang ke Jakarta. Dan akan berujung menikah dengan pilihan ayah.
888
“Surya…”
Jauh dari prediksiku. Di hadapan wajahku, bukan lelaki tua berselimut korteks yang mengerut. Ia pria gagah, bermata tajam bagai elang. Tatapannya dalam saat ia mengulurkan tangannya berkenalan padaku. Aku menerima tangannya sebagai tanda hormat. Tapi tetap, aku berteguh pada pendirianku, aku ingin porak-porandakan perjodohan ini. Ia bukanlah malaikat cinta untukku.
“Aku tidak mau.” Ucapku di tengah-tengah acara keluarga. Ibu dan ayahnya respon menoleh padaku. Tatapan mereka heran, sekaligus penuh kecemasan.
“Aku sudah punya pilihan. Dan ini bukan zaman Siti Nurbaya kan?” lanjut mulutku mengeluarkan penolakan. Ayah mulai membulatkan mata dan mengepal tangannya, seperti hendak menghantam mulutku yang lantang. Namun Surya mencegah ayah melakukannya.
“Surya, aku sudah punya kekasih.”
“Siapa dia? Bisa kau tunjukkan pada ke dua orang tuamu? Aku berjanji, jika ia bisa datang, aku akan mundur dari perjodohan ini.”
Tanpa berlama-lama, tanpa menunggu ayah naik pitam. Aku langsung membuka laptop, dan mengecek Yahoo Messenger, berharap ia ada dan bisa kuminta datang ke rumah.
“Kau berhubungan dengan pria dunia maya?” tiba-tiba Surya mengacak konsentrasiku yang sedang mengirimkan pesan di YM pria mayaku, Messenger-nya tidak aktif. Namun aku terus mengetikkan alamat rumahku.
“Kau yakin ia akan datang? Kau percaya dunia maya? Kau mecintai seseorang yang tak pernah menampakkan dirinya langsung di hadapanmu?” Surya bertanya lagi, kali ini suaranya mulai meninggi. Aku tetap fokus pada layar laptopku, kali ini aku mengirimkan email padanya. Sunggu menyesal, mengapa aku tidak memaksa ia mengirimkan nomer ponsel atau apa saja yang bisa kuhubungi. Inilah kebodohanku yang aku sesali. Dan mungkin, Sayap Patah sudah membodohi aku, membiarkan aku menumbuhkan cintaku untuknya lalu menjatuhkanku kepada kenyataan bahwa ia hanyalah cinta yang semu.
Hujan basahi wajahku, tubuhku, dan munutupi kebodohanku untuk kesekian kalinya, menangisi seseorang yang meninggalkan aku. Aku tidak dapat membuktikan, pria itu datang untukku. Kuharap aku bisa menerima Surya yang nyata untuk menjadi malaikat hidupku.
888
Patong Beach, 14 Februari
Tadi pagi, aku resmi menjadi Nyonya Jingga Surya. Tidak tahu, harus bahagia, bersyukur, atau merasa terpaksa. Aku mulai mengumpulkan pikiran-pikiran positif. Ia tampan, berwibawa, mapan, dan ia mencintaiku, akunya saat perjalanan ke Patong. Jujur, aku tidak mengerti mengapa Patong menjadi tempat yang ia pilih untuk honeymoon. Hanya dua lelaki yang tahu impianku setelah menikah. Cinta pertamaku dan Pria maya itu. Melihat senja di pantai Patong, berdua dan saling mengucap janji.
“Masih ada lima belas menit lagi untuk menikmati keindahan langit.” Surya menatapku dalam, ia mencoba menyakini aku bahwa ia benar-benar mencintaiku satu dan satu-satunya. Aku tersenyum, bagaimana pun juga ia suamiku kini.
“Boleh aku meminta sesuatu?” tanya Surya, sambil lebih mendekatkan tubuhnya pada tubuhku. Aku mulai kaku, tubuhku seketika seperti diselimuti salju. Dingin, kaku, dan deburan ombak mulai dikalahkan oleh suara detak jantung ini.
“A-ap-apa?” ucapku terbata.
“Lihat inbox di yahoo milikmu.” Pintanya, masih menatapku dan semakin mendekatkan tubuhnya padaku. Namun, seketika rasa risihku hilang saat ia memintaku membuka inbox e-mail milikku. Sayap Patah berkelabat di kepala. Apakah ia membalas semua e-mail gulanaku? Sejak hari itu, aku tidak berani terbang ke dunia maya lagi. Kecewa dan sakit hati berkubang di jiwa, dan menempatkan nama Sayap Patah di dalamnya.
Surya memintaku untuk melihat email-ku segera, ia tahu ada sebuah email yang belum kubaca. Namun, aku melihat tanggal yang tertera. Hari ini, beberapa menit yang lalu?
From  : sayapsayappatah@gmail.com
To       : malaikatkecil@gmail.com
Date   : 14 Februari
Subj    : Kamu yang terakhir untukku
Dear, Jingga
Aku tidak tahu, harus merasa bersalah atau bahagia. Aku tidak tahu, harus dibilang penjahat atau penipu. Namun, aku bahagia dengan kejahatanku ini. Menjadi maya untuk seorang Jingga. Mungkin, kini kau membenciku. Tapi, apakah masih ada benci itu, setelah kau tahu,
Bahwa,
Aku,
Adalah Surya-Pendamping hidupmu.
Segala haru mengepul di pelupuk mata. Ia, pria yang selama ini menemani aku dalam sepi. Ia, bukan maya lagi. Ia suamiku. Dan,
“Happy Valentine’s Day, Isteriku tersayang. Kau paling nyata di antara wanita nyata di duniaku. Aku takkan membiarkanmu sendiri. Karena dirimu, pelengkap hidupku.” Ucapnya sambil menerbangkan rengkuhan hangat untukku, disaksikan langit senja yang tersenyum indah.
Ti amo per sempre, Surya….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar