Kamis, 22 Desember 2011

05:05

Pukul 05:05
                 Sunyi mengabdi dalam selimut hati. Sebuah rasa mengetuk-ngetuk ruang kamarku beberapa kali. Semalam sudah kubilang, izin dahulu jika ingin datang. Tetapi, kenapa kamu datang tanpa permisi lagi sih? Protesku lantang dalam hati, dengan setumpuk kesal yang sudah singgah di subuh dini.
             Jarum jam masih terdiam, kaku dalam menit ke lima. Rasanya sudah cukup lama, ia berada di pukul lima dan menit ke lima. Berkali-kali sudah aku ingin membanting jam tua itu. Mengganggu pikiran, mengganggu pernapasan, hampir membuatku gila! Kalau saja bukan pemberian dari kakek, aku pasti sudah menghancurkannya, membuat wujudnya berkeping-keping, lalu kusingkirkan dalam tumpukan barang bekas di pembuangan belakang rumah. Aku tidak ingin kualat, aku masih bisa menahan mata dan kupingku tiap jam itu bersuara “KIKUK-KIKUK-KIKUK”. Hal yang membuat kesal adalah jam itu sedikit berbeda dari jam lainnya. Ia tahu apa yang aku rasa.
            Lega rasanya bila jarum jam itu telah berpindah ke menit berikut. Dia bagai pengontrol hawa napsuku. Ia seperti remote pengendali detak jantungku. Mengembalikan masa lalu yang telah terkubur kaku. Tidak dapat kembali ke sisi. Kehampaan, kadang membuat perih rasa. Tapi sudahlah, waktu tidak dapat diputar ulang, hanya dapat direka ulang. Tapi pristiwa itu jangan, jika ada reka ulangnya, akan kubakar penayangannya. Andai saja bisa, akan kurubah semua yang telah terjadi. Hari ini masa depanku menunggu direngkuh dan dikecup untuk ungkapkan selamat pagi.
         Prio, dia adalah masa depanku. Bukan dia, yang sudah tenggelam, membatu, dan sudah kukoyak namanya dalam hidupku. Aku tidak ingin mengingat atau mengenang masa-masa dengannya, untuk selamanya, hingga mati! Aku berusaha wujudkan ambisi, membakarnya dalam kehidupanku sekarang.
          Prio lebih dari segalanya. Dia lelaki yang konsisten dengan ucapan. Selalu ada di kala aku butuh. Pagi ini, ia duduk di taman kampus. Dia menungguku? Pasti setiap hari ia adalah pagiku. Aku melangkahkan kaki perlahan, mengatur napas, agar Prio tidak membaca keberadaanku.
            “ AYO! Tebak siapa?” Sapaku, sambil menutup mata Prio, dengan telapak tangan. Ia tenang, hanya melengkungkan senyuman, lalu berkata,
       “ Pasti gadisku yang manis! Ayo dong jangan menutup mata masmu ini. Bagaimana aku bisa memandang wajahmu? “ Ucapnya manja. Aku tertawa kecil, lalu melepaskan tanganku dari wajahnya. Mas Prio, panggilan sayangku kepadanya. Dia lebih tua dariku tiga tahun.
         Berawal dari matakuliah Metodologi Penelitian yang rumitnya minta ampun. Dia menawarkan bantuan saat kegentingan waktu. Aku tidak biasa dibantu dalam mengerjakan segala sesuatu, namun terpaksa mengangguk setuju saat ia menawarkan pertolongan. Asas kepepet mungkin ya. Padahal aku tidak tahu dia siapa, namanya, berasal dari mana, semua karena deadline tugas yang menghabiskan malamku, namun tidak kunjung rampung. Alhasil, pria baik ini mengulurkan bantuan bagai malaikat yang diturunkan Tuhan. Ya, semua berlanjut lebih dari yang aku kira. Aku pikir, setelah tugas itu selesai, tidak akan ada komunikasi lagi anatara aku dan seniorku. Namun, dia selalu muncul di depan hidungku, ketika sendiri. Aku memang lebih suka sendiri, malas bercengkerama basa-basi, bersama teman-teman sebaya. Biasanya, hanya berita angin yang teman-temanku rangkai untuk dijadikan tertawaan ataupun gossip hangat, di kala waktu senggang. Aku lebih menyukai duduk di perpustakaan, menulis, atau sekedar membaca jurnal. Terlihat pintar? Ah tidak, semua hanya untuk melupakan apa yang belum bisa aku lupakan.
         Sebenarnya aku bukanlah tipe kutu buku seperti sekarang ini. Aku bukan seseorang yang suka menjelajahi teori-teori. Itu membuat pusing dan mual saja! Tetapi semenjak gelombang sepi mendeburkan batu bahagia dalam hati, aku merasa perpustakaan adalah tempat yang nyaman dan aman. Tidak ada cemoohan, cibiran, dan mata-mata belas kasihan.

Ì
           Mas Prio kekasihku. Aku suka kumisnya yang tipis, wajah ovalnya, rambut gaya cowok kantoran, dan kemeja, membuat dia terlihat dewasa. Dia tidak menyatakan cinta seperti lelaki yang pernah aku kenal. Empat bulan kami berteman. Empat bulan dia menemaniku dalam kesunyian pikiran. Duduk di dekatku, mambaca jurnal bersama, lalu berdiskusi. Dia sedang menyusun skripsi. Aku senang dengan pola pikirnya, tidak terlalu naif. Saat itu, di dalam perpustakaan yang sepi, hanya aku dan dia. Ungkapan cinta meluncur dalam barisan teori.  “ Mulai saat ini, aku mau menemanimu, membimbingmu, serta menjadi jurnal dalam kehidupanmu.” ungkapnya padaku. Kata-katanya mudah, tidak terlalu menipu aku yang sedikit sensitif, akan pernyataan cinta.
Dia melihatku berbeda dengan yang lainnya. Tidak pernah peduli dengan masa lalu, dengan hal yang pernah mencabik percaya diriku, dia tidak peduli. Mungkin karena dia belum tahu masa lalu paling inti. Aku belum siap menceritakan kepahitan itu. Yang ia tahu hanyalah, aku adalah Zahra, gadis manja yang suka bergelayutan dengan kata-kata, akibat luka cinta yang pernah ada.
“ Tahun depan aku sudah lulus. Kamu segeralah ambil skripsi ya. Mas akan menunggumu. “
Aku menelan ludahku, terkejut mendengar ucapan Mas Prio. Maksudnya menungguku? Aku menatap matanya lekat. Diam tak sepatah kata keluar lewat pengecap rasa, berharap dia dapat membaca pesan di mataku. Mas, aku belum siap menikah.
Menikah adalah impian semua wanita. Terlebih lagi, menikah di umur yang masih belia. Teman-teman sebaya memiliki impian indah itu. Aku? Tidak tahu mengapa, rasanya suatu bencana. Tidak siap mendengar teriakan di malam pertama. Tidak siap merasakan kekecewaan yang mendalam saat rahasia itu terbongkar.

Ì
Pukul 05:05
Sebuah pesan terbang ke dalam ponselku. Mataku mengeja satuan abjad yang terbentuk menjadi kata-kata penyelamat kegusaran hati. Aku melirik berkali-kali, tersenyum, lalu tersungging lagi.
Dari : +6281982233441
Waktu : 05:05
Subyek : Selamat Pagi
Pesan :
Selamat pagi sayang. Happy Anniversary! Nanti malam aku jemput kamu ya, aku mau kita rayakan setahun, hari jadi kita ini.
Ì
                Dia datang tepat pukul 19.00WIB malam. Sebuket mawar, menyambut wajahku yang merekah bahagia. Bagaimana tidak, dia datang dengan cinta, dia datang memberikan warna baru di setiap hariku, khususnya hari ini, dia menghilangkan segala sunyi. Aku bersyukur, Ayah dan ibu percaya penuh padanya. Mereka mempercayai aku bersama pilihanku.
Aku tidak ragu, melangkah tinggalkan pelukan ayah dan ibu. Genggaman tangannya, buat hati merasa nyaman dan aman. Aku benar-benar percaya, dia kekasihku tulus. Aku tidak sabar, melihat apa yang ia suguhkan untukku malam ini.

Ì
Pukul 05:05
Aku terkapar di sebuah ranjang. Asing buatku. Kedua tangan terikat. Aku sulit bergerak. Berkali-kali aku memberontak. Sia-sia! Aku tertahan di sini, dengan kemelut berbalut ketakutan akan pria yang ada di depan hidungku. Semalam aku tertidur selama perjalanan. Ia bilang akan membawaku ke restoran di tepi pantai. Tapi terasa jauh sekali. Kepercayaanku padanya, membuat diri tidak merasa takut apapun. Apalagi, membayangkan dia melakukan hal ini padaku. Ini bukan mimpi buruk kan? Ke mana kekasihku yang lembut dan menjaga diriku dari marabahaya. Apa ini, kado setahun kita? KEJI!
“ Kau sudah gila ya? Lepaskan aku!”  Cintaku telah hangus dalam sekejab, dia memaksaku berbuat laknat. Pria itu tertawa, lalu menatapku garang. Ia berubah menjadi seseorang yang bengis. Aku menunduk ketakutan, wajahku pucat, dan tidak bisa melawan. Perlahan-lahan, ia mengendus-enduskan nafasnya ke leherku yang jenjang. Gas dari mulutnya tercium tidak enak. Sepertinya ini yang membuatnya gila! Bulu kudukku berdiri, aku lemas, aku tidak berdaya lagi. Tangannya, bibirnya, matanya, dan semua indera jelajahi kulit langsatku. TUHAN TOLONG AKU!
Ì
          Jam dinding tua, dengan detak setangah soak, menunjukkan pukul enam pagi. Di ranjang ini, aku tidak suci lagi. Menangis sejadi-jadinya. Menangis, berharap Tuhan ambil alih nyawaku di pagi dini. Aku ingin sekali mati! Kini, bau amis penuhi penciumanku. Kasur lusuh, basah dengan cairan merah, bercampur keringat dosa. Aku risih dengan semua, tubuh elokku pun kini tidak lagi terlekat sehelai kain. Rasa perih dan sakit menusuk vagina yang telah habis dinikmati. Aku ingin mati! Aku ingin kesucianku lagi!
Pengkhianat itu pulas, sehabis menyantap tubuh manisku dengan geliat tubuhnya yang berkeringat. Bola mata, mencari benda yang bisa menusuknya. Aku mencari, namun tidak ada pisau, belati, atau silet sekalipun di dalam kamar ini. SIAL! Aku ingin sekali mencekiknya, lalu memuntahkan dia ke dalam jurang, seperti dia memuntahkan spermanya dalam kelaminku. PEMABUK! AKU BODOH MEMPERCAYAI HATIKU PADANYA! BODOH KAU ZAHRA!
Ì
      “ Zahra…”
“ Eng, mas? Dari kapan kamu di belakangku?”  Tanyaku pada Prio. Mata ini pasti merah, mengingat apa yang telah terjadi tiga tahun lalu. Aku bukanlah wanita impian pria sesempurna Prio. Aku tidak pantas untuknya. Aku kotor!
“ Sudah cukup lama. Aku tidak mengerti, apa yang membuatmu menangis? Ada kata-kataku yang menyakiti hatimu?”  Ucap Prio dengan mimik wajah bingung. Aku tidak berani menatap kedua retina Prio. Dia memelukku erat di ruang perpustakaan yang sepi. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tahan, aku ingin mengatakan aku tidaklah perawan. Tapi aku takut, dia pergi dari hidupku yang sepi.

Ì
       Setahun aku bersandiwara di depan Prio. Tidak terasa, besok adalah hari bersejarah untuknya, hari penyematan gelar sarjana. Aku akan membawa sekuntum mawar merah dan sepucuk surat pengakuan dosa. Ini akan menjadi gembok hatiku yang sudah dikaratkan oleh rahasia terbesar dalam waktu. Aku tidak ingin kehilangannya. Namun, aku akan merasa berdosa, jika tetap kujaga hatinya untukku. Aku hanya asap hitam. Polusi dalam ketulusan alam cintanya.

Ì
Dear Mas Prio,
Aku ini topeng. Wajahku yang kau lihat bukanlah aku yang kau tahu. Aku tidak lebih dan tidak bukan adalah abu yang masuk dalam kehidupanmu. Aku kerikil kecil yang lambat laun akan menyesakkan dada dan napas hidupmu. Aku bukan mawar indah yang akan mewarnai taman hatimu hingga kita menua. Aku tidak pantas untukmu.
Jika kamu paralelkan aku, kau akan melihatku sejajar dengan kupu-kupu malam, yang kerap kau ceritakan padaku. Mereka mengganggu dirimu, ketika malam tiba dan menggodamu untuk mengeluarkan kertas merah bernilai rupiah dari dompet kulit yang kuberikan. Aku seperti mereka. 
Mungkin tidak sepenuhnya. Aku tidak menjajaki diriku pada buaya-buaya darat, yang menelanjangi harkat dan martabat wanita, yang pada dasarnya hanya ingin materi untuk sesuap nasi, atau mengalihkan rasa sakit hati. Aku korban dari lelaki pengecut. Dia masa laluku. Dia merampas gemilangku. Dia mengambil keperawananku.
Setiap subuh keperawanan itu datang mengetuk-ngetuk pintu kamar. Dia jiwa kegadisanku yang kerap  mengumpat dari kenyataan hidup seorang Zahra. Tentunya sebelum mengenal dirimu. Aku merasa hanya sampah dunia.
Jujur, aku tidak ingin hal itu terjadi. Malam waktu dahulu, kami ingin merayakan satu tahun pacaran. Ia membawaku dalam perjalanan yang cukup panjang. Namun, karena sudah mengenalnya lama, aku percaya saja apa yang ia katakan. Aku mengantuk malam itu, lalu terlelap di dalam mobilnya. Entah mengapa aku terlalu lelap dan baru terbangun saat dewi malam tenggelam. Tepatnya pukul 05:05, aku ingat benar. Subuh kelam, ia menghabisi kesucianku. Aku terikat, aku tidak bisa mengelak apa yang ia lakukan pada diriku. Sungguh, aku tidak pernah ingin bersetubuh dengannya.
Paginya, tepat di hari Minggu. Aku kabur dari villa tua yang aku tidak tahu jelas lokasinya. Aku tinggalkan lelaki bejat itu. Dia  mungkin mabuk atau memang mempunyai niatan jahat padaku. Karena hingga saat ini, dia tidak mencariku.
Mas, tidak ada yang pernah tahu hal ini. Orang tuaku pun tidak mengetahui hal memalukan ini. Cuma kamu, yang tahu aib ini. Mengapa kujabarkan padamu, karena aku sangat mencintaimu, aku tidak ingin meninggalkan dirimu. Tapi aku tidak pantas menerima ketulusan cintamu. Dengan surat kaleng ini, aku harap kau mengerti, aku tidak akan mendampingi hari-harimu atau menjadi pelabuhan cintamu. Aku pergi, biarkan saja aku menua dan mati tanpa cinta. Karena aku tidak patut dicintai oleh dirimu yang suci.

Zahra,14 Februari 2010

Ì
senja lalu langit hujani namamu
basahi garis-garis rindu
 banjiri sendu
penuhi kalbu

Satu hari telah berlalu. Aku kerap melamunkan kamu. Kamu pria yang telah aku kejutkan dengan pengakuan kelamku. Mungkin, kamu sedang bahagia dengan gelar yang tersemat sekarang. Mungkin surat kaleng yang kuberikan, telah membuatmu memandang diriku tidak lebih dari setitik nila yang pernah nodai hatimu. Sudahlah, aku harus bisa lupakan Prio. Dia terlalu baik untuk aku yang tidak sempurna lagi.

Ì
Pukul 05:05
Subuh kembali datang. Jendela kamar tiba-tiba menderit lantang. Jam antik kembali berdentang, pukul lima lewat lima. Dinding kamar mengeluarkan aura dingin, lembab terasa mendekat, menarik korteks kulit. Tiupan kecil berhembus ditungkuk, aku tahu dia datang. Dia ada di ruang tidurku sekarang.
“Zahra… mengapa kamu rendahkan diri? Aku pergi bukan karena keinginanmu kan? Peristiwa lalu, kecelakaan yang tidak pernah kamu inginkan. Prio pria yang baik. Prio akan hapuskan masa lalu pahit. Tuhan sayang padamu. Prio kunci masa lalumu dan masa depanmu. ” Perawanku mencoba menghasut pikiran yang selalu menyalahkan hidup ini. Kini, ia kembali pergi, aku meringkuk sedih. Ia berkata, kunci? Aku tidak mengerti. Lebih baik, aku menemui sang Dewa Pantai pagi ini.

Ì
Pukul 05:05
Aku merindumu Zahra. Kucari kau di tempat biasa kita berjumpa, namun hanya tumpukan buku menatapi. Mereka bisu saat kuberbisik, bertanya di mana kamu berada. Kucari kamu di kelas, tapi hanya bangku kosong yang kulihat. Kamu di mana? Rumahmu, aku tidak tahu. Kuhubungi ponselmu, namun mailbox yang menjawab resahku. Kamu benar-benar menyiksa batin ini. Selama setahun, aku memaksa mengantar kamu pulang ke kediamanmu. Kamu menolak dengan banyak alasan. Aku tidak perduli kamu telah dinodai. Aku cinta kamu tanpa syarat apapun, karena Tuhan yang mengirimkan pesan agar kau menjadi pendampingku kelak.
Aku lelah sepi. Setelah tiga tahun lalu, adikku meninggalkan aku dengan keadaan mengenaskan. Awalnya, aku tidak paham mengapa dia memilih menggantung diri. Kutemukan dia di kamar dengan lidah menjulur ke luar, bersama wajah berurai air mata. Sama sepertimu, yang kehilangan kesucian itu. Pukul 05:05WIB. Aku temui ia tidak bernyawa.
Subuh itu, aku baru kembali dari Singapura rumah oma. Aku ingat betul, adikku sempat bertelepon denganku, dua hari sebelum kejadian gantung diri. Ia bercerita, akan merayakan hari jadi, bersama kekasih yang ia selalu ceritakan padaku. Namun, aku tidak mengerti mengapa ia habisi nyawanya. Hingga aku membaca sebuah pesan di ponsel miliknya. Pesan pertanggung jawaban seorang wanita.

Ì

Hempasan ombak, fasih mengeja gelisah. Mungkin ini adalah fase kejenuhan akan hidup yang mulai tak terang. Tidak ada yang dapat mengobati batin diri, kedua orang tuaku sibuk dengan duniawi. Tidak meperhatikan psikologis anak tunggalnya yang berubah drastis. Ah, aku tidak peduli, mungkin lebih baik begini.
Angin pantai mematahkan semangat hidup. Aku melayang di antara keputusan. Kaki ini ingin sekali berlari bersama samudera, mati di antara kedamaian hati. Buat apa aku hidup? Kalau diri kerap mencaci maki ketidaksempurnaan sendiri. Aku tidak tahu mengapa pengecut itu menghilang, tidak ada kabar, hingga pesanku sudah menjadi bangkai. Aku sempat berpikir untuk meminta pertanggungjawabannya. Pikiran itu, aku realisasikan dengan mengirim sebuah pesan. Namun, hambar tidak ada jawaban. Keluarganya pun tidak ada yang memberi kabar.
Langit pantai mulai mengernyit. Sebuah batu karang besar, menggoda aku yang galau. Aku perlu hidup tenang, tanpa ada rasa, menggila di dalam dada. Aku butuh damai, hapuskan bosan akan keparauan.
“ TUHAN! BAWA AKU DALAM KEDAMAIAN! JIKA BISA, BUAT AKU LUPA INGATAN! AKU TERSIKSA TUHAN! TERANIAYA MAKNA PERAWAN!”
“  Kau bukan wanita jalang. Kau bidadari dari Tuhan. Tak akan Tuhan sahutkan doa-doamu itu. Aku peringan beban hidupmu.” Suara itu hadir dari belakangku. Tangannya memeluk hangat tubuhku dari belakang. Terdiam, aku hanyut dalam sentuhan.
“ Maafkan adikku. Dia tidak sempat mengucapkan itu padamu. Malam itu, dia mabuk. “ Mendengar katanya, aku langsung membalikkan badan. Terkejut atas pengakuan Prio, pria yang ternyata adalah kakak kandung Handi. Dengan keras, kudorong Prio  hingga terjatuh ke air. Aku berlari menjauh. Pembohong! Ia ingin menjadi dewa penyelamat? Ia ingin menebus dosa adiknya yang pengecut itu?! Mengapa bukan Handi yang datang dan menyesali perbuatan bejatnya!
“ ZAHRA! TUNGGU! KAU TIDAK TAHU, BAHWA HANDI MENYESAL TELAH MELAKUKAN ITU PADAMU BUKAN? KARENA DOSANYA PADAMU, IA GANTUNG DIRINYA SENDIRI HINGGA MATI! “
Handi? Mati! Tidak mungkin, ia paling takut rasa sakit. Disuntik saja ia akan lari. Handi gantung diri? Mendengar perkataan Prio, kakiku kaku.
“ Aku tidak tahu wajahmu. Aku mencintaimu sebelum mengetahui sosokmu. Setelah tiga bulan kita menjalani kasih, tidak sengaja aku menemukan gambar dirimu di dalam laci adikku. Rasa sayang itu tidak hilang. Aku tidak peduli status dirimu perawan atau tidak. Aku cinta dirimu karena Tuhan.” Ujarnya sambil manatapku dalam. Aku melihat kejujuran dalam matanya. Air mata mulai menetes di atas Pasir Anyer yang putih. Prio respon memelukku, pelukannya erat seperti tidak ingin aku pergi. Aku semakin terisak, ketika ia mengcup keningku lekat.
“ Aku tidak akan lepaskan kamu lagi. Lupakan Handi, ada aku di sini. Lupakan kekelaman lalu, aku melihatmu tanpa cacat di dirimu. Bulan depan, aku akan melamarmu. Ini tanda ketulusanku. “
Deburan ombak menjadi saksi. Prio lelaki dari Tuhan, pengobat kecewa diri. Tidak ada kata yang dapat mengukir tanda terima kasih. Mataku dan matanya terpaku, aku dan dia saling memandang. Kuusir waktu alam detik kelam, tanpa kata. Bibir kami saling bersentuh nyata. Indah, hanyutkan puing-puing kecewa. Subuh nanti, rindu perawan tidak akan mengetuk pintu kamarku lagi. Terima kasih Tuhan, kini aku telah terobati akan rasa tidak percaya diri. Terima kasih Prio, tanpa timpang kau memandangku sempurna sebagai seorang wanita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar